HADIS TAHLILI PERINTAH MENGERJAKAN APA YANG DISANGGUPI


HADIS TAHLILI

PERINTAH MENGERJAKAN APA YANG DISANGGUPI

 

A.    TEKS HADIS

 قال مسلم : حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، قَالَا: كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ، فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ، وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ»[1]

Muslim berkata : Harmalah bin Yahya Al-Tujibi telah menceritakan kepadaku, Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami, Yunus telah mengabarkan kepadaku dari Ibnu Syihab; Abu Salamah bin 'Abdur Rahman dan Sa'id bin Al Musayyab telah mengabarkan kepadaku, keduanya berkat:; Abu Hurairah bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan sekuat tenaga kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka."

 

B.     SANAD

Sebelum membahas mengenai sanad pada hadis ini, penulis merasa perlu untuk memaparkan hadis yang semakna dengan hadis di atas. Hadis tersebut dapat ditemukan pada kitab Shahih al-Bukhari:

قال البخاري: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا  أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»[2]

Bukhari berkata : telah menceritakan kepada kami Ismail telah menceritakan kepadaku Malik dari Abu Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian”.

 

Setelah ditelusuri di dalam Mu’jam alMufahras li ‘Alfazh al-Hadits, ditemukan bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh banyak imam, di antaranya Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hanbal. Namun, karena hanya memiliki lafaz yang berbeda, maka penulis hanya menjelaskan sanad hadis yang diriwayatkan oleh Muslim saja. Sanad hadis tersebut dapat dilihat pada ranji di bawah ini:

Bagan Ranji Sanad Hadis

أَبُو هُرَيْرَةَ

وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ

أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ

رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 

ابْنِ شِهَابٍ

يُونُسُ

ابْنُ وَهْبٍ

مسلم

حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ

 

Pada sanad hadis di atas, diketahui bahwa perawi dari kalangan sahabat adalah Abu Hurairah. Beliau adalah periwayat hadis paling masyhur di kalangan sahabat Nabi Saw. Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Syams bin’Amir bin ‘Adtsan bin ‘Abdullah bin Zahran  bin Kaab al-Harits bin Malik bin Nashr bin al-Azad. Ia lahir di Daus, sebuah wilayah di Yaman pada tahun 19 SH. Ia lenih terkenal dengan kunyah Abu Hurairah yang berarti bapak kucing.  Rasulullah Saw lah yang pertama kali memanggilnya dengan julukan tesebut, ketika itu Rasulullah melihat seekor kucing di lengan Abu Hurairah, sehingga beliau memanggilnya, “wahai Abu Hurairah”. Sahabat yang satu ini masuk Islam ketika Rasulullah bertolak menuju Khaibar untuk menaklukkan kota tersebut dan menyebarkan agama Islam. Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi Saw selama empat tahun. Abu Hurairah dikenal sebagai seorang penghafal yang teliti. Hal ini tidak lepas dari berkah do’a Nabi Saw kepada Abu Hurairah. [3] Abu Hurairah tercatat sebagai sahabat Rasul yang terbanyak meriwayatkan hadis. Ia meriwayatkan hadis sebanyak 5.374 hadis.[4]

 

C.    MAKNA MUFRADAT

فَاجْتَنِبُوهُ                    :  Maka jauhilah darinya

مَا اسْتَطَعْتُمْ                 :  Semampu kalian

مِنْ قَبْلِكُمْ                    :  Umat-umat dahulu

وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ   :  Mereka menyelisihi Nabi-nabi mereka

 

D.    PENDAPAT ULAMA / SYARAH / IKHTILAF TENTANG MAKNA YANG TERDAPAT  DALAM HADIST TERSEBUT

Imam al-Nawawi berkata:

Sabdanya : ( مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ، فَاجْتَنِبُوهُ ) “ Apa yang aku larang terhadap kalian, jauhilah” . yakni jauhilah sekaligus, jangan melakukannya walau sedikit pun. Ini dipahami sebagai larangan tahrim ( pengharaman). Adapun larangan makruh maka boleh dikerjakan. Asal larangan menurut bahasa adalah al-man` (mencegah).

Sabdanya : (وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ) “Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian.” Di dalamnya terdapat beberapa masalah, diantaranya:

a.       Jika seseorang mendapati air untuk wudhu yang tidak mencukupinya, maka yang paling jelas ialah wajib mempergunakannya, kemudian bertayamum untuk anggota tubuh yang tersisa.

b.      Jika seseorang menjumpai sebagian sha` untuk zakat fitrah, maka ia wajib mengeluarkannya.

c.       Jika seseorang mempunyai sebagian harta yang mencukupi untuk nafkah kerabat, istri atau binatang ternaknya, maka ia wajib memberikannya. Ini berbeda bila seseorang mempunyai sebagian (saham) sahaya, maka ia tidak wajib memerdekakannya sebagai kafarat (tebusan) karena ada gantinya, yaitu puasa.

Sabdanya: (  فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ، وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ ) Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka." Ketahuilah bahwa pertanyaan itu ada beberapa macam:

1.      Pertanyaan orang yang tidak tahu tentang  kewajiban agama, seperti wudhu, shalat,puasa, tentang hukum-hukum muamalah, dan sejenisnya. Pertanyaan ini wajib, dan atas perkara inilah harus dipahami sabda Nabi SAW : ( طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ) “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” Manusia tidak boleh diam terhadap hal itu, sebagaimana firmannya :


…Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (Q.S al-Anbiya` : 7 )

Ibnu Abbas r.a mengatakan, “ Aku diberi lisan yang suka bertanya dan hati yang mudah memahami.”

2.      Bertanya untuk Tafaqquh fi al-Din (memahami agama), bukan untuk beramal semata, seperti peradilan dan fatwa. Ini fardhu kifayah, berdasarkan firman Allah SWT


…Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama… (Q.S al-Taubah : 122)

3.      Bertanya tentang sesuatu yang tidak diwajibkan Allah SWT atasnya dan tidak pula atas selainnya. Atas perkara inilah hadis ini dipahami. Karena kadangkala pertanyaan tersebut mengakibatkan masyaqqah (kesulitan), karena disebabkan taklif (kewajiban) yang diperoleh. Karena itu , Nabi mengisyaratkan:

وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ فَلَا تَسْأَلُوْا عَنْهَا

Dan dia mendiamkan tentang banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah bertanya tentangnya.

Dari Ali, ketika turun ayat, Q.S Ali Imran : 97:


…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah…

Seseorang bertanya ,” Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah SAW?”. Beliaupun berpaling darinya sehingga ia mengulangi pertanyaan dua atau tiga kali. Lalu Rasulullah SAW mengatakan:

وَمَا يُؤْمِنُكَ أَنْ أَقُوْلَ نَعَمْ ؟ وَاللهِ لَو قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ, وَلَوْ وَجَبَتْ لَمَا اسْتَطَعْتُمْ فَذَرْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ فَاِنَّمَا اَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثِيْرَةُ مَسَائِلِهِمْ, وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى اَنْبِيَائِهِمْ, فَاِذَا اَمَرْتُكُمْ بِاَمْرٍ فَأْ تُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ, وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ. 

Apa kamu puas bila aku menjawab ya? Demi Allah seandainya aku menjawab ya, niscaya itu menjadi wajib, niscaya kalian tidak sanggup. Maka biarkanlah apa yang aku biarkan terhadap kalian. Karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya, dan suka menyelisihi  para Nabi mereka. Jika aku memerintahkan kalian suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kemampuanmu dan jika aku melarang sesuatu terhadap kalian, maka jauhilah.

 

Maka Allah SWT menurutkan ayat, Q.S al-Maidah : 101:


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu…

Yakni, yang belum aku perintahkan kepada kalian supaya mengamalkannya. Larangan ini khusus berlaku di masa Nabi SAW. Adapun sesudah syari`at itu telah bersifat tetap dan tidaka ada penambahan di dalamnya, maka hilanglah larangan tersebut dengan hilangnya sebabnya.

Segolongan salag memakruhkan bertanya tentang makna ayat-ayat mutasyabihat. Imam Malik ditanya tentang firman Allah SWT:

  

 (Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.

Maka, Ia menjawab, “Istawa’ itu sudah dimaklumi, kayfiyyah (cara atau hakikatnya) tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib, bertanya tentangnya adalah bid`ah, dan aku melihatmu sebagai orang yang buruk. Keluarkannlah ia dari majlisku.”

Sebagian kalangan mengataakan, “ Madzhab salaf itu lebih selamat, dan madzhab khalaf itu lebih tahu, yaitu dengan bukti adanya pertanyaan.

 

Imam Ibnu Daqiq berkata:

Lafal hadis ini dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia mengatakan, “ Rasulullah berkhutbah kepada kami dengan sabdanya, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian maka berhajilah.  Maka seseorang bertanya, “ Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah ? Beliau diam hingga ia menanyakannya sebanyak tiga kali, lalu Nabi bersabda:

لَو قُلْتُ : نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَ لَمَا اسْتَطَعْتُمْ

Seandainya aku menjawab ya, niscaya itu menjadi wajib, niscaya kalian tidak sanggup.

ذَرُنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ فَاِنَّمَا اَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثِيْرَةُ مَسَائِلِهِمْ, وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى اَنْبِيَائِهِمْ, فَاِذَا اَمَرْتُكُمْ بِاَمْرٍ فَأْ تُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ, وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعَوْهٌ

Maka biarkanlah apa yang aku biarkan terhadap kalian. Karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya, dan suka menyelisihi  para Nabi mereka. Jika aku memerintahkan kalian suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kemampuanmu dan jika aku melarang sesuatu terhadap kalian, maka tinggalkanlah.

Orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW adalah al-Aqra` bin Habis.

Para ahli ushul berselisih mengenai perintah : apakah menuntut dikerjakan berulang-ulang? Kebanyakan Fuqaha` dan mutakallimin memilih bahwa perintah tidak menuntut dikerjakan berulang-ulang. Sebagian yang lainnya mengatakan, tidak dihukumi dengan tuntutannya  dan tidak pula larangannya, tapi menunggu mengenai perkara yang lebih dari sekali penjelasan. Hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh pihak yang berpendapat dengan tawaqquf (pasif, menunggu penjelasan). Sebab, ia bertanya, “ Apakah setiap tahun?”. Seandainya siifat mutlak perintah menuntut berulang-ulang atau tidaknya, niscaya beliau tidak mengatakan kepadanya,” Seandainya aku mengatakan ya, niscaya menjadi wajib dan niscaya kalian tidak sanggup.” Bahkan tidak perlu ditanyakan, tetapi mutlaknya dipahami demikian. Umat bersepakat bahwa haji tidak wajib dalam seumur hidup kecuali sekali saja, berdasarkan prinsip syari`at.

Sabdanya , (ذَرُنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ) Biarkanlah apa yang aku biarkan terhadap kalian.” Ini jelas bahwa perintah itu tidak menuntut berulang-ulang. Lafal ini juga menunjukan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban dan tiada hokum sebelum turunnya ketentuan syari`at

Sabdanya,  (لَو قُلْتُ : نَعَمْ لَوَجَبَتْ) “ Seandainya aku menjawab ya, niscaya itu menjadi wajib” adalah dalil bagi madzhab yang shahih bahwa Nabi SAW  mempunyai ijtihad dalam hukum, dan tidak diisyaratkan dalam keputusan hukumnya dengan wahyu.

Sabdanya, (وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ) “apa yang aku perintahkan kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian.” Ini salah satu kaidah Islam yang sangat penting dan salah satu dari jawami` al-kalim yang diberikan kepada Nabi SAW.  Termasuk juga ke dalam hadis ini, hukum-hukum yang terhitung jumlahnya. Seperti shalat, ketika tidak mampu melakukan sebagian rukunnya atau sebagian syaratnya, maka mengerjakan lainnya ( yang disanggupinya). Ketika tidak mampu membasuh yang mungkin bisa dibasuh. Juga ketika fitrah secara kolektif diwajibkan terhadap orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada mereka. Demikianlah pula perihal menghilangkan kemungkaran, jika ia tidak dapat menghilangkannya semuanya, maka ia melakukan yang bisa dilakukannya. Dan sejenisnya dari hal-hal yang tidak terhingga, dan ini masyhur dalam kitab-kitab fikih. 

 


Sabdanya ,( مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ، فَاجْتَنِبُوهُ) ““ Dan sesuatu yang aku larang terhadap kalian, Maka jauhilah.” Tetapi jika ia memiliki udzur tang membolehkannya , seperti makan bangkai dalam keadaan darurat dan sejenisnya, maka ia tidak dilarang dalam kondisi ini. Adapun diselain keadaan udzur, maka ia belum melaksanakan tuntutan larangan hingga meninggalkan semua yang dilarang.

Sabdanya, (فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ، وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ ) , “Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka.” Beliau menyebutkan hal itu sesudah sabdanya, “ Biarkan   ,” maksudnya , janganlah kalian banyak bertanya , karena mungkin jawabannya akan banyak. Akibatnya hal itu menyamai kisah Bani Israil, ketika diperintahkan kepada mereka “ Sembelihlah seekor sapi betina.” Seandainya mereka mencukupkan pada apa yang dinyatakan oleh lafal tersebut dan bersegera menyembelih seekor sapi betina apapun, niscaya itu sudah cukup bagi mereka. Tetapi ketika mereka banyak bertanya dan memberatkan, maka mereka keberatan dan dicela atas hal itu. Oleh karena itu, Nabi mengkhawatirkan hal semacam itu terjadi pada umatnya.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata :

ما dalam sabdanya ( مَا نَهَيْتُكُمْ), “ Apa yang aku larang terhadap kalian.”Dan dalam sabdanya:  (مَا أَمَرْتُكُمْ), “ Apa yang aku perintahkan.” Adalah syartiyyah. Yakni sesuatu yang aku larang terhadap kalian, jauhilah semuanya, dan jangan kalian kerjakan sedikitpun darinya,karena menjauhi lebih mudah daripada mengerjakan.

Adapun mengenai yang diperintahkan beliau bersabda, (وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ) “ Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian.” Karena yang diperintahkan ialah perbuatan, dan adakalanya sulit bagi manusia. Karena itu, Nabi SAW mengikatnya dengan sabdanya (فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ) ,” Maka kerjakanlah menurut kemampuan kalian.”

E.     AL-DURUS AL-MUSTAFADAH

1.      Wajib menjauhi apa yang dilarang Rasulullah SAW dan terlebih lagi apa yang dilarang Allah SWT. Ini selagi tidak ada dalil yang menunjukkan larangan tersebut untuk dimakruhkan.

2.      Tidak boleh melakukan sebagian larangan, tetapi wajib menjauhinya seluruhnya. Hal itu selama disana tidak ada darurat yang membolehkan untuk melakukannya.

3.      Wajib mengerjakan apa yang diperintahkan. Hal itu selagi tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perintah tersebut untuk anjuran.

4.      Manusia tidak wajib mengerjakan di luar kemampuannya.

5.      Kemudahan agama Islam ini, dimana seseorang tidak berkewajiban kecuali pada apa yang disanggupinya,

6.      Siapa yang tidak mampu melakukan sebagian yang diperintahkan, ia cukup  melakukan apa yang disanggupinya. Siapa yang tidak mampu shalat dengan berdiri , ia shalat dengan duduk. Siapa yang tidak mampu dengan duduk, ia shalat dengan berbaring. Siapa yang mampu rukuk hendaklah ia rukuk dan siapa yang tidak mampu melakukannya. Maka hendaklah ia mengisyaratkan rukuk. Demikianlah dengan ibadah-ibadah lainnya, manusia melakukannya sesuai kemampuannya.

7.      Manusia tidak semestinya banyak bertanya. Karena banyak bertanya, terutama di masa turunnya wahyu, mungkin berakibat diharamkannya sesuatu yang tidak diharamkan, atau diwajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan. Manusia hanya boleh bertanya apa yang diperlukannya saja.

8.      Banyak bertanya dan menyelisihi para nabi merupakan faktor kebinasaan, sebagaiman umat-umat sebelum kita binasa karenanya.

9.      Larangan banyak bertanya dan berselisih, karena hal itu menyebabkan kebinasaan umat-umat sebelum kita. Jika kita melakukannya, maka kita nyaris binasa sebagaimana mereka binasa.



[1]  Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairîy al-Naisabûrîy, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), Jilid. IV, h. 1830

[2] Abi ‘Abdillah Muhammad  ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ju’fiy  al-Bukhariy,Shahih al-Bukhariy,(Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyah, 1998), jilid IV, h. 502

[3] Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis, (Sidoarjo: Mashun, 2008), h.16-17

[4] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadis Shahih Bukhari Muslim, judul asli : Al-Lu’lu’ wa al-Marjan, penerjemah: Tim Penerjemah Aqwam, (Jakarta: ummul Qura, 2012), h. Ivii

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tahsin al-Kitabah

MAKALAH HADITS (PERSAUDARAAN SE-SAMA MUSLIM )

Makalah Pandangan Islam terhadap Masyarakat