RADD DAN AUL



RADD
A.      Pengertian Radd
Radd lawan dari ‘aul. Sebab, radd  adalah penambahan dalam bagian-bagian perolehan pengurangan dalam bagian-bagian penghitungan, sehingga apa yang tersisa dari bagian-bagian yang diberikan kepada mereka dikembalikan kepada ashhab al-furudh nasab sesuai dengan bagian-bagian perhitungan mereka. Radd tidak dikembalikan kepada suami-isteri. [1]
Ashhab al-Furudh nasab adalah orang-orang selain suami isteri. Bagian dikembalikan sesuai bagian-bagian  mereka.[2]
Dengan demikian, radd  menurut ulama faraid adalah memberikan kelebihan bagian-bagian ashhab al-furudh nasab kepada mereka sesuai dengan hak-hak mereka, ketika tidak ada ‘ashabah. Radd lawan dari ‘aul  sebab dengan ‘aul asal masalah menjadi bertambah, sehingga pengurangan masuk pada bagian-bagian ashhab al-furudh, dengan radd asal masalah berkurang, sementara bagian-bagian perhitungan bertambah.[3]
B.       Rukun Radd
Untuk adanya masalah radd diperlukan tiga rukun, yaitu[4]:
1.      Terwujudnya ashhab al-furudh
2.      Terwujudnya kelebihan saham
3.      Tidak adanya ahli waris ‘ashabah

C.       Kaidah Radd
Masalah-masalah radd ada empat macam, sebab yang ada dalam masalah ini adakalanya satu kelompok yang diberi radd atau lebih. Berdasarkan dua asumsi ini, maka adakalanya dalam masalah ini ada orang yang tidak mendapatkan radd atau tidak. Empat bagian itu adalah[5]:
1.         Hendaklah yang ada dalam masalah ini hanya satu kelompok yang diberi radd , sementara bersama mereka tidak ada orang yang tidak diberi raddi, yakni salah seorang suami isteri.
2.         Hendaklah yang ada dalam masalah itu lebih banyak daripada satu kelompok yang mendapatkan radd.  Sementara itu,  mereka tidak bersama orang yang tidak mendapatkan radd, sehingga asal masalah tidak dijadikan dari jumlah bagian-bagian yang diambil oleh orang-orang yang ada dari asal masalah.
3.         Hendaklah dalam masalah dengan satu kelompok yang mendapatkan radd ada salah seorang dari orang yang tidak mendapatkan radd , yaitu salah seorang dari suami isteri.
4.         Hendaklah bersama dengan dua kelompok atau lebih dari orang yang mendapatkan radd ada orang yang tidak mendapatkan radd, sehingga asal masalah dijadikan untuk bagian orang yang tidak mendapatkan radd, ia beri bagian dari itu, kemudian sisanya dibagi untuk orang yang mendapatkan radd dengan presentase bagian-bagian mereka dan apa yang perlu ditashih, maka ditashih.

‘AUL
A.      Defenisi
 ‘Aul menurut bahasa adalah kelacuran, kezhaliman, pelampauan batas. Dikatakan ‘aala al-rajulu ‘laki-laki itu zhalim’, dalam istilah adalah penambahan dalam jumlah bagian penghitungan, dari asal masalah, dan pengurangan dalam realita bagian-bagian yang diperoleh. Ini berakibat bahwa apa yang berlebih dibagikan pada bagian-bagian (furudh) semua ahli waris dengan presentase yang sama. [6]
B.       Legalitas ‘Aul
Orang yang pertama kali memutuskan ‘aul adalah Umar ibn al-Khattab. Pada masanya terjadi masalah yang asal masalah tidak cukup memehui bagian-bagiannya, yaitu suami, dua orang saudara perempuan atau suami, ibu dan seorang saudara perempuan, maka Umar bermusyawarah dengan para sahabat mengenai masalah itu. Abbas atau Zaid ibn Tsabit  mensinyalir adanya ‘aul. Dia mengatakan: “Jadikanlah bagian-bagian itu ‘aul. Umar pun menyetujuinya dan memutuskan dengan ‘aul, .[7]
C.       Asal Masalah yang Bisa ‘Aul dan yang Tidak Bisa ‘Aul
Ada empat asal masalah dari tujuh yang sama sekali tidak bisa ‘aul, yaitu dua(2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8). Sebab, bagian-bagian di dalamnya tidak lebih dari asal masalah.




[1] Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, judul asli: Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani,dkk , (Jakarta: Gema Insani, 2011),jil 10, h. 435
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h. 423
[5] Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit., h. 437-439
[6] Ibid., h. 432
[7] Ibid., h. 433

Komentar