MAKALAH HADITS (PERSAUDARAAN SE-SAMA MUSLIM )
MAKALAH HADITS (PERSAUDARAAN SE-SAMA MUSLIM )
1. PERSAUDARAAN SESAMA MUSLIM (ADABUN NABI : 23 & 25 )
Hadits 23
a.Teks Hadits
عن
عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال :قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : اَلْمُسْلِمُ
اَخُوَاْلُمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَ مْن كَا نَ فِيْ حَا جَةِ اَ
خِيْهِ كاَ نَ الَلَهُ فِيْ حَا جَتِهِ وَ
مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
يَوْمِ اْلقِيَامَةِ وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ.
(رواه البخا ري و مسلم ابو داود و انسائ و اترمذي)
b. Terjemahan
Dari
Abdullah bin ‘Umar r.a. berkata, Rasulullah Saw bersabda, ‘Orang Muslim itu saudara orang Muslim lainnya, tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya. Barangsiapa yang (mencukupi) kebutuhan
saudaranya, maka Allah akan (mencukupkan) kebutuhannya pula, dan barangsiapa
yang meringankan beban kesedihan seorang Muslim, maka Allah akan meringankan beban kesedihan hari Kiamat darinya.
Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim,
maka Allah akan menutupi (aib) nya kelak pada hari Kiamat. (Diriwayatkan
Al-Bukhari , Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi).[1]
c.Uraian
Aslama
fulanun fulanan , si Fulan mengantar si Fulan kepada kehancuran ,
tidak melindunginya dari ancaman musuhnya. Kata ini lebih luas konotasi
penggunaannya. Segala yang ditujukan kepada sesuatu , namun lebih banyak
berkonotasi pada kehancuran. Kurbah, kesedihan yang
menggerogoti jiwa.[2] Dikatakan aslama fulanun fulanan (si fulan menyerahkan si
fulan), artinya dia menjerumuskannya dalam kebinasaan dan tidak melindunginya
dari musuh. Kalimat ini bersifat umum, mencakup semua sikap tidak peduli dengan
keadaan orang lain. Namun, lebih banyak digunakan untuk sesuatu yang
menyebabkan kebinasaan. Al muslimu akhuwal muslimin, seorang muslim adalah
saudara seorang muslim yang lain. Ini adalah bentuk ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam. Apabila ada dua hal yang
mempunyai kesamaan, maka dinamakan bersaudara. Dalam hal ini tidak ada perbedaan
antara orang yang merdeka, budak, orang dewasa, dan anak-anak. [3]
La
yazhlimuhu ( tidak menzhaliminya ) . Ini
adalah kalimat berita yang bermakna perintah . Hal itu dikarenakan kezhaliman
seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah haram. Sedangkan perkataan “tidak
menyerahkannya”, yakni tidak membiarkannya bersama orang yang mengganggunya dan
tidak pula membiarkan pada sesuatu yang menyakitinya.[4]
Maksud dari persaudaraan orang
Muslim dengan orang Muslim lainnya berarti kokohnya pertalian antara mereka seperti layaknya persaudaraan saudara-saudara sekandung yang
mengakibatkan terpupuknya rasa mencintai, saling tolong-menolong
dan upaya memberikan yang baik dan mencegah yang dapat mendatangkan mudharat.
Sebagai konsekuensinya, tidak menzhaliminya dan tidak pula membiarkannya begitu
saja. Menzhaliminya berarti mengabaikan haknya baik menyangkut keamanan jiwa,
harta benda maupun kehormatan, didasari unsur kesengajaan atau tidak. [5] Perbuatan
zhalim hukumnya mutlak haram, dan Al-qur’an sendiri dalam beberapa ayatnya
telah melarang perbutan zhalim itu. Rasulullah juga telah menjelaskan masalah
ini,
حَدِيْثُ
عَبْدِ اللَهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللُهُ عَنْهُمَا . عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَهُ
عَلَيْهِ وَ سَّلَّمَ، قَالَ : الّظٌّلْمُ ظُلمَا تٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. (رواه
البخاري و مسلم)
“Abdullah
bin ‘Umar meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw bersabda, “ kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari Kiamat.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).[6]
Sedangkan membiarkannya adalah menghinakannya dan membiarkannya diancam
musuh atau diperlakukan keji olehnya.
Menolongnya
sebagai orang yang berbuat zhalim adalah dengan mencegahnya dari kezhaliman
yang ia lakukan. Sabdanya : “ Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan
saudaranya….”, adalah perintah untuk lebih mengutamakan kemashlahatan umum yang
menyangkut masalah keuangan, keilmuan atau pengajaran kesopanan. Pernyataan diatas menegaskan kembali bahwa waktu yang dipergunakan seseorang untuk
mencari nafkah untuk menopang kepentingan orang lain, tidak akan hilang begitu
saja. Tetapi yang Maha Kuasa dan Yang Maha Mengetahui, yang memegang segala
simpanan langit dan bumi akan selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Seseorang
yang berusaha memenuhi kebutuhannya dengan jalan memenuhi kebutuhan orang lain,
berarti telah mendalami inti makna yang terkandung dalam keumuman firman Allah:
Jika kamu menolong (agama) Allah , Niscaya dia akan menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu”.[7])Q.S.Muhammad:7)
Sayyid
Qutb mengatakan,"Bagaimana orang-orang beriman menolong Allah sehingga
mereka menegakkan persyaratan dan mendapatkan apa yang disyaratkan bagi mereka
berupa kemenangan dan diteguhkan kedudukan ?" Beliau
melanjutkan,"Sesungguhnya mereka memurnikan Allah dalam hati mereka dan
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu baik syirik yang nyata maupun yang
tersembunyi serta tidak menyisakan seseorang atau sesuatu pun bersama-Nya
didalam dirinya. Dia menjadikan Allah lebih dicintai dari apapun yang dia
cintai dan sukai serta meneguhkan hukum-Nya dalam keinginan, aktivitas, diam,
saat sembunyi-sembunyi, terang-terangan maupun saat malunya, maka Allah akan
menolongnya dalam diri mereka. Sesungguhnya
Allah memiliki syariat dan manhaj kehidupan yang tegak diatas prinsip-prinsip,
aturan-aturan, nilai-nilai dan tashawwur khusus bagi seluruh makhluk yang ada
maupun bagi kehidupan. Dan pertolongan Allah akan terealisasi dengan menolong
syariat dan manhaj-Nya dan berupaya untuk menegakkan hukumnya didalam seluruh
kehidupan tanpa kecuali, inilah menolong Allah dalam realita kehidupan.[8]
Begitu
juga dengan sabda Rasulullah berikutnya “ Barangsiapa yang meringankan
kesedihan dari seorang Muslim….” Ini adalah anjuran untuk mencegah segala
bentuk bencana yang hendak menancapkan kukunya di tanah kaum muslimin dalam
kehidupan dunia ini. Secara garis besar
Anda berusaha untuk saudara-saudara Anda demi menghindarkan mereka dari musibah atau paling tidak memperkecil musibah
yang menimpanya. Sebagai
balasannya Allah memberikan jaminan bahwa kelak di hari Kiamat Allah akan
mengangkat kesedihannya , dimana kesediahan pada hari Kiamat itu adalah
kesediahan yang sangat menyakitkan karena sebelumnya tidak terbayangkan bentuk
kesedihan itu lantaran kesedihan itu di dunia tidak ada bandingannya. [9]
Sedangkan bunyi hadits selanjutnya : “ Barangsiapa menutup (aib) seorang muslim..” , adalah sebuah
perintah untuk menutupi segala kekurangan saudaranya sesama Muslim , bila
mengetahuinya . Zhahir dari pernyataan ini dapat ditangkap bahwa menutupi
kekurangan itu menyangkut segaala bentuk kekurangan baik yang kecil ataupun
besar yang memang sudah semestinya dijatuhi hukuman . Para ulama menjelaskan
lebih rinci tetang hal ini : Jika ada seorang yang melihat orang lain tengah
melakukan perbuatan dosa yang nantinya dikhawatirkan dapat membuka jalan kearah
kemungkaran maka ia harus mencegahnya bagaimanapun caranya. Karena
bila hanya didiamkan , maka ia telah terhitung berdosa lantaran tidak bernahi
mungkar, sehingga pada waktu itu ia diibaratkan sebagai orang yang membantu
seseorang melakukan tindakan dosa.
Firman Allah :
“ Wahai
orang-orang beriman janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan
jangan (melanggar kehormatan)
bulan-bulan haram, jangan(mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qolaid
(hewan kurban yang diberi tanda) dan jangan (pula) menganggu orang-orang yang
mengunjungi baitul haram; mereka mencari karunia dan keridhoan Tuhannya. Tetapi
apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan
sampai kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka) . Dan
tolong-menolonglah kamu (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Alllah sangat berat siksa-Nya.” (Q.S Al-Ma’idah:2)
Masalahnya akan menjadi lain bila perbuatan
dosa itu baru ia ketahui setelah semuanya terjadi. Bila ternyata yang berbuat
itu diketahui dari golongan orang-orang yang sudah identik dengan dosa , maka
ia berkewajiban menyampaikan hal itu kepada penguasa setempat, dikhawatirkan
nanti dari perbuatan seeorang saja akan berkembang menjadi sebuah kerusakan
yang menyeluruh.[10]
Pendapat Penulis
Persaudaraan menurut hadits diatas bahwasanya seorang Muslim
dengan Muslim lainnya adalah bersaudara , mereka harus tolong-menolong dalam agama,
tidak saling menzalimi antar sesama Muslim, jika yang satu terzalimi, maka yang
lain juga merasakannya. Mereka adalah satu tubuh , jika ia mempunyai sakit atau
kekurangan , maka ia akan berusaha menyembuhkannya dan menutupi kekurangan-kekurangannya
itu. Jadi, penulis sangat sependapat dengan para ulama yang mengatakan
bahwasanya seorang yang membiarkan tindakan dosa yang dilakukan oleh orang
lain, maka sama saja ia menyetujui perbuatan itu, dan ia juga menjadi berdosa
karenanya. Jika ia merasa satu tubuh, maka ia akan berusaha membersihkan dosa
yang menjadi penyakit pada tubuhnya, dan jika ia membiarkannya berarti ia rela
dengan adanya penyakit (dosa) itu ada pada dirinya.
d. Kesimpulan
Muslim yang satu dan yang lainnya adalah bersaudara
. Tidak layak seseorang menyakiti saudaranya sendiri. Orang yang
membahagiakan saudaranya di dunia, kelak di akhirat Allah akan menghilangkan
kesedihannya. Semua kebaikan adalah
sedekah, tak perlu berpikir banyak untuk melakukan kebaikan, dengan
membahagiakan saudara kita sendiri itu adalah lebih baik bagi kita.
Hadits 25
a.Teks Hadits
عَنْ اَ بِيْ مُوْسَ
اَلْاَشْعَرِيْ رَضِيَ اللَهُ عَنْهُ ا لنَّبِيَّ صَلَّى اللَهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
قَا لَ : الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَا لْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضهُ بعضُهُ وَ شَبَّكَ
بَيْنَ اَصَا بِعِهِ. (رواه البخاري و
مسلم و اترمذي)
b.Terjemahan
Dari Abu Musa Al-Asy’ari r.a. dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Orang mukmin
itu bagi orang mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang saling memperkokoh
lainnya, “ Kemudian Rasulullah Saw menganyamkan jari-jemarinya. (Diriwayatkan
oleh Al- Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi).[11]
c. Uraian
Bangunan rumah itu terbentuk dari
dinding-dinding yang saling berkait antara satu dengan lainnya
, sedangkan dinding sendiri terbentuk dari batu-bata, batako ataupun batu.
Kekuatan dan keteguhan batu pada sebidang dinding tidak akan dapat disamai
dengan kekuatan luar manapun karena batu itu sudah direkatkan pada rangkaian
batu-batu di dinding itu dengan kapur. Pada setiap dinding itu berdiri satu
tiang penopang sehingga membuat dinding itu susah digoyang, bahkan akan terasa
sulit dipecahkan. Berbeda dengan materi-materi lain yang berada di luar bidang
dinding apalagi yang tidak mempunyai pelindung ataupun kekuatan penopang , akan
sangat mudah dipecahkan dan dipindahkan kemana saja. [12]
Sebidang dinding
yang berdiri tegak sendiri adalah lemah, namun bila disambungkan dengan dinding-dinding
lainnya, maka akan menjadi sangat kuat. Begitu juga dengan orang-orang mukmin
sekalian , mereka akan saling membantu, menolong, menopang dan sama-sama
memikul beban kemaslahatan mereka bersama. Perpecahan dan saling merendahkan
bukanlah semangat yang terkandung dalam keimanan, begitupun dalam ajaran
agama, unsur-unsur yang mengajarkan perpecahan dan
saling merendahkan tidak ada .
Saling membantu adalah kekuatan bagi orang-orang Muslim dan keperkasaan bagi
orang-orang yang bersatu , maka Allah dan Rasul-Nya juga sangat tegas
memperingatkan umat ini agar tidak berpecah belah, karena ia adalah yang akan
menghancurkan bangunan yang berdiri tegak lagi kokoh itu.[13]
Firman Allah:
“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah
, dan janganlah kamu bercerai-berai dan
Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dulu (masa jahiliyah) ,
bermusuh-musuhan , maka Allah menjinakkan antara hatimu , lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara.” (Ali ‘Imran: 103).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan
bahwasanya Allah menetapi jama’ah(kesatuan) dan melarang mereka bercerai-berai.[14]
Sesuai dengan hadits nabi;
Dari beliau ( Abu Hurairah r.a), beliau
bersabda : Janganlah kamu saling dengki –mendengki, janganlah kamu saling
menipu, janganlah kamu benci-membenci, janganlah kamu saling membelakangi , dan
janganlah sebagian dari kamu menjual atas penjualan sebagian lainnya . Jadikanlah
kamu sekalian wahai hamba-hamba Allah yang saling bersaudara . (HR.Bukhari dan Muslim)[15]
Hadits tersebut mengandung beberapa
perkara yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
1.
Saling dengki-mendengki antara dua orang
2.
Larangan Munajasyah ( memuji-muji barang dagangan supaya laku atau
pura-pura menawar barang dengan harga yang tinggi supaya orang tidak merasa
mahal, lalu membelinya. Jadi ada unsur penipuan atau memperdaya orang.
3.
Larangan saling membenci antara kedua belah pihak.
4.
Larangan saling membelakangi, yaitu larangan memutuskan hubungan dengan saudaranya.
5.
Larangan berlaku zhalim (Al-Baghyu), jika kata itu adalah dengan
ghoin. Sedangkan jika dengann ‘ain maka larangan sebagian menjual atas
penjualan sebagian lain.[16]
Juga ayat dibawah ini:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi
bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” ( QS.Al-An’am : 159).
Pada masalah ini, Ibnu Katsir berkata: “ Jelas
bahwa ayat ini adalah umum bagi setiap orang yang memecah belah agama Allah dan
menentangnya.[17]
d. Kesimpulan
Persaudaraan yang dipenuhi oleh rasa kasih sayang karena Allah Swt, akan selalu
berdiri tegak seperti suatu bangunan
kokoh . Iman lah yang menyatukan kasih dan sayang itu. Tetapi, jika diantara
kedua belah pihak atau kedua-duanya tidak konsisten dengan tali persaudaraan
itu yang dapat mengakibatkan terjadinya perpecahan, maka tunggulah kehancuran
tali pengikat keduanya.
2. MEMELIHARA
SILATURAHMI (Al-Lu’lu’ wal Marjan : 1657)
a. Teks Hadist
حَدِيْث انس بن ما لك رضي الله عنه , قال : سمعت رسول
الله صلى الله عليه و سلم يقول : من سره ان يبسط له رزقه, أو ينسا له في أثره,
فليصل رحمه
b. Terjemahan :
“ Anas
bin Malik ra berkata, “ Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘ Siapapun yang
ingin diluaskan rezekinya dan dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia
menyambung silaturahmi.’” ( HR Bukhari dan Muslim ).[18]
c. Uraian :
Secara bahasa
silaturahmi berasal dari kata shilah ar-rahim, shilah dan
ar-rahim. Kata shilah berasal dari washala-yashilu-wasl(an)wa
shilat(an), artinya adalah hubungan. Adapun ar-rahim atau ar-rahm,
jamaknya arhâm, yakni rahim atau kerabat. Asalnya dari ar-rahmah
(kasih sayang); ia digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena
orang-orang saling berkasih sayang, karena hubungan rahim atau kekerabatan itu.
Rahim (sanak saudara) adalah setiap orang yang ada di antara kamu dan ada
hubungan kerabat. [19]
Dalam kitab An-Nihayah di
ulang-ulang dalam hadist sebutan silaturahim itu adalah sindirin dari berlaku baik terhadap orang-orang yang
terdekat dari orang-orang yang mempunyai hubungan keturunan, yang bersifat
kasih sayang terhadap mereka, lemah lembut terhadapnya, dan pemeliharaan
keadaan mereka : orang yang suka berbuat baik itu tetap bersikap demikian
sekalipun orang lain memusuhinya dan berlaku jelek terhadapnya. Lawannya adalah
pemutusan hubungan silaturahmi.[20]
Kata “يبسط “ diubah bentuknya
dari ma’lum (kata kerja aktif dan pasif) yang maksudnya : Allah memurahkan
baginya rezekinya . Lalu kata “ ان ينسا ” sama ketentuannya dengan yang diatas
(yaitu diubah dari aktif menjadi pasif ), yang berarti Allah memperpanjang
baginya umurnya (fi atsarihi). Kata “Atsarihi” itu dengan huruf Hamzah, lalu
huruf “Tsa” bertitik tiga, kemudian huruf “ Ra’ ” , yang berarti ajalnya .
Barangsiapa yang senang diperpanjang umurnya/ajalnya , maka hendaklah dia menyambung
hubungan kasih sayangnya dengan keluarganya. [21]
Hadist ini
juga diperkuat dengan ayat[22]:
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dan memberi
pengajaran kepada kalian agar dapat mengambil pelajaran.” ( Q.S An- Nahl : 90 )
Ahmad
meriwayatkan dari Aisyah r.a bersambung sanad-sanadnya hingga Rasulullah Saw.
Bersabda :
صلة الرحم و حسن الجوار يعمران الديا ر
ويزيدان فى الاعمار
“ Shilaturahmi, dan kebaikan hubungan
bertetangga memakmurkan rumah tangga dan menambah umur.”[23]
Hubungan
kekeluargaan itu adalah salah satu macam bentuk perbuatan baik, sebagaimana
telah ditafsirkan oleh beberapa hal oleh beberapa ulama. Jadi pemutusan silaturahmi
itu adalah lawannya, dan itu termasuk meninggalkan perbuatan baik. Adapun Hadist yang diriwayatkan oleh At
Tirmidzi dari sabda Rasulullah Saw. : Bukanlah disebut orang yang menyambung
kekeluargaan orang yang sudah saling rukun, akan tetapi yang dikatakan orang
yang menyambung kekeluargaan itu ialah orang yang sudah putus hubungan lalu dia
menyambungnya lagi, maka menurut yang tersurat itu bahwa hubungan dikatakan
disambung hanyalah bagi orang yang pernah putus hubungan kekeluargaannya (
putus silatur rahimnya ). Ini berdasarkan fi’il “quthi’at” dengan bentuk pasif
( majhul ), dan itu adalah suatu riwayat.[24]
Kata
Ibnu Arabi dalam “ Syarahnya “ : Adapun yang dimaksudkan itu adalah orang yang
sempurna dalam hubungan kekeluargaan ; Sedangkan menurut kata At Thibi :
Maknanya, bukanlah hakekat orang yang
melampaui batas dengan hubungannya itu terhadap orang yang bersikap baik terhadapnya,
dengan perbuatan yang sama, akan tetapi orang yang menyambung hubungan keluarga
itu adalah orang yang melebihi sikap baiknya terhadap temannya. [25]
Pendapat penulis
Siapapun
yang ingin di luaskan rezekinya, maka hendaklah ia menyambung dan memelihara Shilatur
Rahim. Begitu juga yang ingin di panjangkan umur hendaklah ia melakukan hal
yang sama.
Kesimpulan
Memutus
tali Shilaturahim dilarang oleh Rasul karena mengakibatkan pertengkaran
diantara keluarga, sanak saudara ataupun kepada teman yang tidak ada kaitannya
dengan keluarga. Memutus silaturahim merupakan perbuatan yang melampaui batas
dan menyambungnya kembali akan membuat erat shilatur Rahim itu sendiri.
Bagi
yang ingin di panjangkan umurnya dan di luaskan rezekinya maka sambunglah
shilatur Rahim tersebut, namun yang dimaksud dengan panjang umur disini ialah
tidak adanya kerusakan dari orang-orang yang berbuat baik itu dalam
pemahamannya dan akalinya ( pengertiannya ).
3.
HARAM MEMUTUS SILATURRAHIM (Al-Lu’lu’ wal Marjan: 1659)
a.
Teks Hadist
حَدِيْثُ أَبِيْ أَيُّوْب الْأَنْصَرِيْ, أَنَّ رَسُوْلُ اللَه صلي عليه و
سلم قال : لاَ يَحِلُّ لِرِّجَلِ أَنْ يحجر أ خاه فوق ثلاث ليال. يلتقيان, فيعرض
هاذا, و يعرض هاذا, ويعرض هاذا. وخيرهما الذي يبدأ بالسلام
b. Terjemahan
Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw, “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi
tiga malam. (Jika bertemu) yang ini berpaling dan yang ini juga berpaling, dan
sebaik-baik dari keduanya adalah yang memulai salam.” (HR
Bukhari dan Muslim).[26]
c. Uraian
Tidak halal
menunjukkan haram. Oleh karena itu haram pemutusan hubungan orang muslim
itu lebih dari tiga hari. Pengertian
sebaliknya menunjukkan boleh pemutusan hubungan tiga hari. Hikmah kebolehan
pemutusan hubungan selama tiga hari itu ialah karena sesungguhnya condong
kepada kemarahan, berakhlak buruk dan semacamnya. Lalu dimaafkan baginya
pemutusan hubungan dengan saudaranya selama tiga hari, untuk menghilangkan
kemarahan yang timbul karena hal itu akan meringankan manusia dan mencegah hal
yang membahayakannya. Rasulullah saw, sudah menafsirkan pengertian “pemutusan
hubungan” itu dengan sabdanya : Yaltaqiyah (mereka saling berjumpa) hingga
akhirnya. Saling buang muka itu adalah yang biasa terjadi dari keadaan dua orang
yang putus hubungan itu pada waktu berjumpa.[27]
Dalam
hadist tersebut terdapat petunjuk selesainya pemutusan hubungan baginya dengan
menjawab salam. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama, imam Malik dan
Syafi’i. mereka mengemukakan dalil Hadist yang diriwayatkan oleh At Thabrani
dari sanad Zaid bin Wahab paman Ibnu Mas’ud di tengah-tengah matan hadist
mauquf. Matan Hadist (yang artinya) : Cara kembali yang baik ialah dia
mendatangi temannya lalu dia memberi salam kepadanya.[28]
Adapun
pemutusan hubungan lebih dari tiga hari, maka menurut Ibnu Abdil Barri : Ulaa
sudah sepakat (ijma’) bahwa tidak boleh pemutusan hubungan lebih dari tiga hari
tiga malam. Terkadang putus hubungan secara baik baik itu lebih baik daripada
saling bergaul yang menyakitkan hati teman.[29]
Rasulullah
Saw bersabda
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللَهِ
صَلَّي اللَهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ
فَوْقَ ثَلاَثٍ , فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ.
Dari
Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “tidak halal bagi
seorang Muslim untuk memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari.
Barangsiapa memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari lalu mati,
niscaya ia masuk ke neraka.” (HR. Abu Dawud).[30]
Pendapat
Penulis
Allah sangat
tidak menyukai hambanya yang suka memutus hubungan silaturahmi, padahal Allah
telah menyebutkan fadilah-fadilah yang bisa diraih oleh orang mukmin yang
selalu menjaga hubungan silaturahmi antar sesama muslim. Rasulullah juga telah
mengatakan bahwa akibat dari memutus silaturahmi selama tiga hari
berturut-turut, maka ia akan menjadi penghuni neraka.
d. Kesimpulan
Salah satu ciri dari terputusnya hubungan
silaturahim adalah jika seseorang bertemu dengan saudaranya, keduanya akan
saling memalingkan wajah. Diperbolehkan untuk tidak tegur sapa dengan saudara
dalam waktu tiga hari karena rusaknya hubungan silaturahim, sehingga ia dapat
menghilangkan kemarahan yang timbul dalam dirinya terhadap saudaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anil
Karim
Ahmad Atha’, Abdul Qadir, 2000.Adabun Nabi. Pustaka Azzam,Jakarta
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad, 2012.Al-Lu’lu’ wal marjan. Ummul
Qura,Jakarta
Yusuf al-Kandahlawi ,Maulana Muhammad,
2007.Muntakhab A Hadits.Ash-Shaff, Jakarta
Ash-Shan’ani,1996.Subulussalam.
Al-Ikhlas , Jakarta
Qordowi, Yusuf,1996.Fiqhul Ikhtilaf. Robbani Press,Jakarta
Al-‘Asqolany, Ibnu
Hajar,2000.Fathul Baari. Darul Ilmi,Yogyakarta
Quthb, Sayyid,2008.Fi zhilalil Qur’an
.Robbani Press,Jakarta
Baliq,‘Izzudin,1985.Minhajul
Muslimin. Daarul Ihya Indonesia,Semarang
Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi,2008. Tafsir Ibnu
Katsir. Sinar Baru Algensindo,Bandung
[2] Ibid,.h.64
[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani.Fathul Baari,(Yogyakarta: Darul Ilmi,2000).,h.118
[4] [4] Ibid.,h.118
[5] Abdul Qadir Ahmad Atha’.,Op.Cit.h.64
[6] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.,Op.Cit.h.1119
[7] Abdul Qadir Ahmad Atha’,Op.Cit.,h.64
[8] Sayyid Quthb, Fi zilalil Qur’an,(Jakarta: Robbani Press, 2008)..jilid.11.h.340
[9] Abdul Qadir Ahmad Atha’.,Op.Cit.,h.65
[10] Ibid.,h.66
[11] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.,Op.Cit.h.1122 no.1670
[12] Abdul Qadir Ahmad Atha’.,Op.Cit.h.70
[13] Ibid.,h.71
[14] Abul Fida Isma’il Ibnu
Katsir Ad-Dimasyqi,Tafsir Ibnu Katsir,(Bandung: Sinar Baru Algensindo2008),h.51
[15] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.,Op,Cit.h.1116 no.1660
[16] Ash. Shan’ani ,(1996).Subulussalam. Penerbit: Al-Ikhlas .h.
841
[17] Yusuf Qordhowi,
Fiqhu Ikhtilaf (Jakarta:Robbani
Press,1996),.h.36
[18] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.Op.Cit.h.1114
[19] Ash. Shan’ani ,Op.Cit.h.67
[20] ‘Izzudin Baliq,Minhajul
Muslimin,( Semarang: Daarul Ihya Indonesia,1985),.h.871
[21] Ash. Shan’ani ,Op.Cit.,h. 680
[22] Maulana Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, Muntakhab A Hadits,(Jakarta: Ash-Shaff, 2007).,h.488
[23]Ash. Shan’ani ,Op.Cit.,h. 681
[24] Ibid.,h.682
[25] Ibid.,h.683
[26] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi,Op.Cit.,h.1115
[27] Ibid.,h.684
[28] Ibid.,h.685
[29] Ibid.,h.686
[30] Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi .,Op.Cit.,h.524
Komentar
Posting Komentar