Langsung ke konten utama
MAKALAH FARA'IDH
FARAIDH
A.
Defenisi
1.
Faraidh
Fara’idh adalah jamak
dari faridhah; faridhah
diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Allah
SWT. Fardh
dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu
mengenai hal itu dinamakan ilmu waris (‘ilmu miiraats) dan ilmu faraidh.
Ilmu faraidh adalah ilmu yang membahas masalah pembagian
harta warisan; disebut juga dengan ilmu waris. Para ahli ilmu faraidh
mendefenisikannya sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan harta peninggalan
(harta pusaka), cara menghitung pembagiannya, serta bagian masing-masing ahli
waris.
Sebagai istilah yang dipakai dalam ilmu faraidh oleh faradhiyyun
(ahli tentang pembagian harta warisan), kata faraidh diartikan sebagai mafrudhah,
yaitu bagian yang ditentukan kadar jumlahnya. Kata bagian yang dimaksud itu
disebut faridhah karena memang Allah swt sendiri menyebutnya dalam surah
an-Nisa’ayat 11 :
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.
al-Nisa’ : 11)
Kata fardh sebagai suku kata dari lafaz faridhah ,
menurut bahasa mempunyai beberapa arti. Antara lain:
1.
Taqdir, yakni suatu ketentuan, seperti firman Allah SWT :
Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah
seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu
itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan
pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (
QS. Al-Baqarah: 237)
2.
Qath’u , yakni ketetapan yang pasti, seperti firman Allah SWT :
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang Telah ditetapkan.( QS. al-Nisa’: 7).
3.
Inzal, yakni menurunkan, seperti firman Allah SWT:
Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al
Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah:
"Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam
kesesatan yang nyata". ( QS. al-Qashash: 85).
4.
Tabyin, yakni penjelasan, seperti firman Allah SWT :
Sesungguhnya Allah Telah mewajibkan
kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu
dan dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. al-Tahrim:2)
5.
Ihlal, yakni menghalalkan, seperti firman Allah SWT :
Tidak
ada suatu keberatanpun atas nabi tentang apa yang Telah ditetapkan Allah
baginya. (Allah Telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada
nabi-nabi yang Telah berlalu dahulu. dan adalah ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku. (QS. al-Ahzab: 38).
6.
Atha’, yakni
pemberian, seperti semboyan bangsa Arab yang berbunyi:
لَاَ صَبْتُ مِنْهُ فَرْضًا وَلَا قَرْضًا.
“Sungguh aku telah memperoleh
darinya suatu pemberian dan bukan pinjaman.”
Ke-enam arti tersebut dapat digunakan
keseluruhannya, karena di dalam ilmu faraidh terdapat bagian-bagian yang
telah ditentukan dengan pasti besar dan kecilnya dan berfungsi sebagai suatu
pemberian yang bebas dari intervensi dan telah dijelaskan oleh Allah tentang
kehalalannya sesuai dengan aturan-aturan yang telah diturunkan-Nya.
Faraidh dalam istilah mawarits dikhususkan sebagai
suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
Sedang ilmu faraidh menurut
sebagian Faradhiyyun adalah ilmu fiqh yang berpautan
dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara penghitungan harta
pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan
untuk setiap pemilik hak pusaka.
2. Al-Tirkah
Dalam ilmu faraidh, terdapat istilah al-tarikah
atau al-tirkah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun
menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah,
semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit.
Muhammad bin Abdullah al-Takruni berkata : “Al-Tarikah
ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh
selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang
yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau
barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia,
atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi.
Al-Tarikah atau al-tirkah , dalam pengertian bahasa seperti kata mirast
atau harta yang ditinggalkan.
Karenanya, harta yang ditinggalkan seseorang
pemilik harta untuk ahli warisnya dinamakan tarikah si mati (tarikatul
maiyiti). Al-Tirkah dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar
dari kata tunggal taraka , yang berasal dari huruf ta, ra
dan ka.
Menurut Badran
Abu al-Ainain dalam bukunya al-Mawarits wa al-Washiyat wa al-hibah,
tirkah diartikan sebagai segala
sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta maupun hak.
Adapun yang
dimaksud dengan harta peninggalan mayit (al-Tirkah ) adalah:
1.
Segala
yang dimilkinya sebelum meninggal, baik berupa benda maupun hutang, atau berupa
hak atas harta, seperti hak usaha, misalnya dia bermaksud menghidupkan tanah
mati, lalu membatasi tanah tersebut dengan pagar dan sejenisnya. Atau, hak khiyar
dalam jual beli, hak menerima ganti rugi, atau qishash (pidana) manakala
dia menjadi wali bagi seseorang yang mati terbunuh. Misalnya, anaknya dibunuh
oleh seseorang, kemudian pembunuhnya meninggal dunia sebelum dia menuntut balas
atas kematian itu (melalui qishash),
sehingga hak qishash nya berubah menjadi ganti rugi, berupa uang yang
diambil dari peninggalan di pembunuh, persis seperti hutang.
2.
Hak-hak
yang menjadi miliknya karena kematiannya, misalnya diyat (denda) bagi
pembunuhan secara tidak sengaja atau sengaja atas dirinya, misalnya para wali
justru mengambil diyat dari
pembunuhan sebagai ganti qishash. Maka diyat yang diambil dari pembunuh, hukumnya sama dengan seluruh harta
peninggalan lainnya yang diwarisi oleh semua pihak yang berhak, termasuk suami
dan isteri.
3.
Harta
yang dimilikinya sesudah ia meninggal, seperti binatang buruan yang masuk dalam
perangkap yang dipasangnya ketika dia masih hidup, atau hutang yang kemudian
dibebaskan oleh pemilik piutang sesudah dia mati, atau seseorang yang dengan
sukarela membayar hutang-hutangnya. Atau apabila ada orang yang melakukan
tindak pidana terhadap dirinya sesudah dia mati, misalnya memotong tangannya
atau kakinya, lalu dikenakan diyat terhadap pelakunya. Semua itu masuk dalam kategori harta (peninggalan
mayit).
B.
Beda Faraidh dengan al-Tirkah
Membicarakan faraidh
atau harta warisan berarti
membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang
yang masih hidup. Dengan demikian fiqh Mawarits mengandung arti
ketentuan yang berdasar kepada wahyu
Allah yang mengatur hal ihwal peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih
hidup.
Ketentuan agama
berkenaan dengan hal tersebut disebut dengan beberapa nama, baik dalam literatur
yang berbahasa Arab maupun yang bahasa Indonesia; mawarits, tirkah, warits,
faraidh dalam bahasa Arab. Perbadaaan dalam penamaan tersebut tergantung
pada apa yang dijadikan titik pandang dalam pembahasan. Bila yang dipandang
adalah orang-orang yang berhak menerima harta dari orang yang mati itu, disebut
hukum waris dalam bahasa Indonesia atau Fiqh al Warits dalam bahasa
Arab. Bila dijadikan titik pandang adalah harta yang akan beralih ke pada ahli
waris, maka ia disebut hukum warisan atau hukum harta pusaka ; mirats (
jamaknya mawarits) atau tirkah. Bila dijadikan titik pandang
adalah bagian-bagian yang diterima oleh ahli waris, disebut faraidh. Faraidh
inilah istilah yang lazim digunakan dalam literatur fiqh. Dan bila
yang dijadikan titik pandang adalah proses peralihan harta dari orang yang mati
kepada ahli warisnya yang masih hidup, ia disebut kewarisan.
Kesimpulannya al-Tirkah
adalah semua peninggalan harta warisan sedangkan faraidh adalah harta
warisan yang akan dibagikan kepada para ahli waris.
C.
Keutamaan IImu Faraidh
Ilmu
faraidh adalah ilmu yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam.
Mempelajari ilmu faraidh hukumnya fardhu kifayah, yaitu kewajiban
kolektif yang jika dilakukan oleh satu orang maka komunitas yang terkait lepas
dari kewajiban tersebut, namun jika tidak seorang pun yang melaksanakannya,
maka mereka seluruhnya akan berdosa.
Hukum waris
telah ada dan dikenal oleh bangsa Arab jahiliah sejak zaman pra-Islam. Dalam
ketentuan tersebut, ditetapkan bahwa yang dapat mewarisi hanyalah orang-orang
yang sudah dapat ikut mempertahankan kehormatan keluarganya. Dengan demikian
anak-anak yang belum dewasa dan perempuan tidak mempunyai hak mewarisi. Bahkan
janda dari orang yang meninggal merupakan bagian dari harta warisan. Kebiasaan
mewarisi janda tersebut dibatalkan oleh syariat Islam melalui surah al-Nisa’
ayat 19 :
Hai orang-orang
yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
(QS. Al-Nisa’: 19)
Pemakalah berpendapat, dari penjelasan diatas, diketahui bahwa ilmu
faraidh memang sangat berpengaruh dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat,
karena dengan adanya ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat diwujudkan keadilan
dan ketenangan dalam kehidupan manusia yang sesuai dengan fitrah manusia itu
sendiri yang menginginkan keadilan, dan tidak ada yang lebih adil daripada
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT.
Begitu pentingnya ilmu faraidh, sehingga dapat ditemukan banyak
hadis Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang keutamaannya. Beberapa keutamaan
ilmu faraidh di dalam hadis Rasulullah Saw :
1.
Satu-satunya
ilmu yang dapat menyelesaikan perselisihan mengenai warisan
قَالَ ابْنُ
مَسْعُودٍ: قَالَ لِي رَسُولُ الله صَلى الله عَليهِ وسَلم: تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ
وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ, تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ,
تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ, فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ,
وَالْعِلْمُ سَيُقْبَضُ, وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِي
فَرِيضَةٍ لاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا.
Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah
Saw bersabda kepadaku:: “Pelajarilah ilmu dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah
(pula) ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah al-Qur’an dan
ajarkanlah kepada manusia, karena aku adalah orang yang akan mati, sedang ilmu
pun akan diangkat dan fitnah menyebar hingga hampir saja dua berselisih tentang
pembagian warisan sedang keduanya tidak menemukan seseorang yang dapat
memutuskan (perkara) diantara keduanya.”( H.R. al-Darimi)
2.
Ilmu faraidh termasuk satu
dari tiga ilmu utama
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ، فَمَا وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ: آيَةٌ مُحْكَمَةٌ، أَوْ
سُنَّةٌ قَائِمَةٌ، أَوْ فَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ.
Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, bahwa
Rasulullah Saw bersabda:” Ilmu itu ada tiga macam, dan selain dari yang tiga
itu adalah tambahan : ayat yang jelas, sunnah yang datang dari Nabi, dan
faridhah yang adil.” ( H.R.
Ibnu Majah)
3.
Ilmu yang pertama kali dicabut
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ , أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ: تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ
النَّاسَ فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْسَى وَهُوَ
أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْتَزَعُ مِنْ أُمَّتِي.
Dari Abu
Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda : “ Pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkanlah ilmu ini kepada manusia, ilmu faraidh adalah setengah ilmu, dan ia
adalah ilmu yang dilupakan dan ia sebagai ilmu yang pertama kali dicabut dari
umatku.( H.R .
Ibnu Majah dan
al-Daruquthniy).
4.
Keutamaan orang-orang yang
menguasai ilmu fara’idh
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ
لَوْ هَلَكَ عُثْمَانُ وَزَيْدٌ فِي بَعْضِ الزَّمَانِ لَهَلَكَ عِلْمُ
الْفَرَائِضِ لَقَدْ أَتَى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ وَمَا يَعْلَمُهَا غَيْرُهُما
Ibnu Syihab berkata; Seandainya
Utsman dan Zaid meninggal di suatu masa, niscaya hilanglah ilmu faraidh.
Sungguh telah datang masa di mana tidak ada yang mengetahuinya selain mereka
berdua.(H.R
al-Darimi)
Hadis-hadis di atas, menempatkan
perintah untuk memperlajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah untuk
mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an. Untuk menunjukkan bahwa ilmu faraidh
merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam
masyarakat.
D.
Aturan-aturan tentang al-Tirkah
Al-Tirkah atau peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang
yang meninggal) secara mutlak.
Yang demikian ini ditetapkan oleh oleh Ibn Hazm, katanya:
Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan warisan pada harta , bukan yang lain yang ditinggalkan
manusia setelah ia mati. Adapun hak-hak, maka ia tidak diwariskan kecuali yang
mengikuti harta atau dalam pengertian harta, misalnya hak pakai, hak
penghormatan, hak tinggal di tanah yang dimonopoli untuk bangunan dan tanaman.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, peninggalan itu meliputi semua
harta dan hak yang ditinggalkan oleh si mayit, baik harta benda maupun hak
bukan harta benda.
Peninggalan di sini harus diartikan secara luas sehingga mencakup
kepada:
1.
Kebendaaan
dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
Misalnya
benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mayit yang menjadi
tanggung jawab orang lain, diyah-wajibah (denda wajib) yang dibayarkan
kepadanya oleh si pembunuh yang melakukan pembunuhan tidak sengaja, uang
pengganti qishash lantaran tindakan pembunuhan yang diampuni atau
lantaran yang melakukan pembunuhan adalah ayahnya sendiri dan lain sebagainya.
2.
Hak-hak
kebendaan
Seperti
hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan-lalu
lintas, sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan dan lain sebagainya.
3.
Hak-hak
yang bukan kebendaan
Seperti
hak khiyar, hak syuf’ah,
hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan lain sebagainya.
4.
Benda-benda
yang bersangkutan dengan orang lain
Seperti
benda-benda yang sedang digadaikan oleh si mayit, barang-barang yang telah
dibeli oleh si mayit sewaktu hidup yang harganya sudah dibayar tetapi barangnya
belum diterima, barang-barang yang dijadikan mas kawin isterinya yang belum
diserahkan sampai ia mati dan lain sebagainya. Hak milik orang lain yang
bersangkutan dengan benda-benda tersebut, disebut dengan hak ‘ainiyah atau dain ‘ainiy atau duyun
al-Mumtaz atau duyun al-Mu’atstsaqah.
Di dalam al-Tirkah (peninggalan) terdapat
aturan-aturan tentang hak-hak yang berhubungan dengan peninggalan itu sendiri.
Ada empat macam hak-hak yang berhubungan dengan al-Tirkah, yang ke-empatnya
ini tidak sama kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih kuat dari yang lain
sehingga ia didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan dari peninggalan itu.
Secara berurutan kewajiban itu diantaranya adalah:
1.
Kewajiban
Pertama (Perawatan mayit dan pengafanannya)
Harus dimulai pengkafanan mayit, perawatannya dengan baik sesuai
dengan tingkat kelonggaran dan kesulitan hidup si mayit menurut Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah. Atau, dengan ukuran tidak mubadzir tidak pula
menyia-nyiakan, menurut Hanafiyah. Sebab hal itu termasuk masalah-masalah
penting yang berkaitan dengan hak mayit, penjagaan kehormatan dan kemuliaannya
secara manusiawi, yakni menguburkannya. Juga karena firman Allah SWT :
tûïÏ%©!$#ur !#sÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèùÌó¡ç öNs9ur (#rçäIø)t tb%2ur ú÷üt/ Ï9ºs $YB#uqs% ÇÏÐÈ tûïÏ%©!$#ur !#sÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèùÌó¡ç öNs9ur (#rçäIø)t tb%2ur ú÷üt/ Ï9ºs $YB#uqs% ÇÏÐÈ
Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.( QS. al-Furqan: 67).
Dalam kitab Tafsir fi Zhilal al-Qur’an dijelaskan bahwa ayat
ini menerangkan tentang sifat Islam yang diwujudkan dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat. Juga yang menjadi arah pendidikan dan hukum Islam, dan mendirikan
bangunannya seluruhnya di atas keseimbangan dan keadilan itu. Sikap berlebihan
dan menahan harta menghasilkan ketidakseimbangan di tengah masyarakat.
2.
Kewajiban
Kedua ( Membayar hutang-hutang mayit)
Melunasi hutangnya. Ibnu Hazm dan al-Syafi’i mendahulukan hutang
kepada Allah seperti zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia. Orang-orang
Hanafi menggugurkan hutang kepada Allah dengan adanya kematian. Dengan demikian
maka hutang kepada Allah itu tidak wajib
dibayar oleh ahli waris kecuali apabila mereka secara suka rela membayarnya,
atau diwasiatkan oleh mayit untuk dibayarnya. Dengan diwasiatkannya hutang,
maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada orang lain yang dikeluarkan oleh
ahli waris atau pemelihara dari sepertiga yang tersisa setelah perawatan mayat
dan hutang kepada manusia. Ini bila dia mempunyai ahli waris. Apabila dia tidak
mempunyai ahli waris, maka wasiat hutang itu dikeluarkan dari seluruh harta. Orang-orang
Hanbali mempersamakan antara hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Demikian
pula mereka sepakat bahwa hutang hamba yang bersifat ‘aini
itu didahulukan atas hutang mutlak.
Macam-macam hutang itu ada dua:
1.
Dain
Allah (hutang kepada Allah), seperti zakat
dan kafarat.
Kafarat
terbagi menjadi tujuh:
a. Zhihar
b. Qatlu bi dun al-amal
c. Diyat
d. Nazhar
e. Yamin
f. Jima’ fi Nahaari Ramadhan
g. Fidyah
2.
Dain
al-Nas (hutang kepada manusia) seperti
hutang biasa, titipan, gadaian, upah buru dan lainnya.
Pembayaran hutang lebih didahulukan daripada menjalankan wasiat,
meskipun wasiat didahulukan penyebutannya dalam ayat. Hal ini karena terdapat
ucapan dari Ali:
رأيت رسول الله صلي الله عليه و سلم بدأ بالدين قبل
الوصية
“Aku melihat
Rasulullah Saw mulai mengurus utang mayit daripada wasiat”
Hikmah didahukukannya adalah perhatian
Islam terhadap hutang itu, tidak mengabaikannya. Sebab, hutang mirip dengan
warisan yang harus diambil tanpa kompensasi. Oleh karena itu, para ahli waris
harus mengeluarkannya. Pembayaran hutang didahulukan untuk menganjurkan
pembayaran hutang dan memberi peringatan bahwa wasiat sama dengan hutang dalam
hal kewajiban membayarnya.
Kesimpulannya,
bahwaw sebab-sebab didahulukannya wasiat daripada hutang dalam pandangan
al-Qur’an adalah hal-hal berikut:
a. Wasiat dari sisi kewajiban lebih minim
daripada hutang. Oleh karena itu al-Qur’an mendahulukannya sebagai perhatian
untuk wasiat. Al-Qur’an mengakhirkan hutang karena jarang terjadi.
Hutang-hutang kadang ada kadang tidak ada. Oleh karena itu al-Qur’an memulai
dengan hal yang semestinya dan mengatakan hal-hal yang kadang-kadang terjadi
dengan au (atau). Kalau hutang menjadi urutan setelah wasiat maka ‘athaf
dengan waw.
b.
Wasiat adalah bagian orang-orang miskin yang lemah.
Oleh karena itu, al-Qur’an mendahulukannya. Sebab, wasiat adalah bagian
berbentuk hutang yang dituntu dengan kekuatan. Bagian ini disebut al-Qur’an.
c. Waiat adala bagian orang-orang miskin yang
lemah. Hutang adalah hal tetap yang dibayarkan, baik al-Qur’an menyebutkannya
atau tidak.
d. Pendahuluan hutang daripada wasiat adalah
jelas. Sebab pembayaran hutang adalah kewajiban bagi orang yang berutang yang
mana dia dipaksa untuk membayarnya pada saat dia hidup. Wasiat adalah ibadah
sunnah. Fardhu (kewajiban) lebih kuat.
Macam-macam
hutang ada empat:
1.
Hutang-hutang
yang berakaitan dengan benda seperti hutang yang berkaitan dengan barang
gadaian, jika si mayit tidak mempunyai apa-apa selain barang gadaian itu.
2.
Hutang-hutang
untuk Allah seperti zakat, kafarat, dan nadzar gugur dengan kematian menurut
hanafiyyah. Para ahli waris tidak berkewajiban membayarkannya untuk mayit
kecuali dengan perwakilan dari si mayit. Sedangkan mayoritas ulama dari
kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa hutang-hutang
ini wajib dibayarkan dan berkaitan dengan peninggalan mayit, dibayarkan
meskipun mayit tidak berwasiat. Pendapat ini lebih shahih, sebab di
dalamnya ada unsur pembebasan tanggungan.
3.
Hutang-hutang
mayit yang menjadi tanggungannya pada
saat dia sehat didahulukan daripada hutang pada waktu dia sakit. Utang
pada waktu sakit adalah sakit keras yang menyebabkan kematian. Yaitu, yang
terbukti dengan pengakuan orang yang berhutang pada saat dia sakit keras. Ini
lebih lemah daripada hutang waktu sehat, karena lemahnya pengakuan orang yang sakit.
4.
Hutang-hutang
pada waktu sakit yang menjadi kewajiban mayit melalui jalan pengakuan atau
tidak diketahui oleh orang lain, diakhirkan daripada hutang pada masa sehat.
Sebab, pengakuan pada saat masa sakit keras ada dalam dugaan sedekah sunnah
atau pilih kasih. Oleh karena itu, hutang tersebut dalam status wasiat-wasiat
yang dilaksanakan dalam batas sepertiga, dan diakhirkan daripada hutang-hutang
yang lain.
Hutang-hutang kepada Allah lebih didahulukan membayarnya daripada
hutang-hutang kepada manusia. Sebagaimana sabda Nabi Saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَاأَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ فَقَالَ
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ قَالَتْ نَعَمْ
قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ. (رواه
المسلم)
Dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, bahwa ada seorang
wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata,
"Sesungguhnya ibuku telah meninggal, padahal ia masih memiliki hutang
puasa selama satu bulan." Maka beliau pun bersabda: "Bagaimana
menurutmu jika ibumu memiliki hutang uang, apakah kamu akan melunasinya?"
wanita itu menjawab, "Ya, tentu." Beliau bersabda: "Kalau
begitu, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi." (H.R Muslim)
3.
Kewajiban
Ketiga (Pelaksanaan wasiat-wasiat mayit)
Pelaksanaan
wasiat dari sepertiga sisa harta yang tersisa, bukan dari sepertiga harta
asli si mayit yaitu setelah pelaksanaan
hak-hak di atas, karena firman Allah SWT:
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. al-Nisa’: 11)
Juga hadis Nabi
Saw:
عَنْ
عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ لَا
الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ
Dari 'Amir bin Sa'd dari Ayahnya dia berkata, Rasulullah Saw
bersabda: “Jangan, tapi sedekahkanlah sepertiganya saja, dan sepertiganya pun
sudah banyak.” (H.R Muslim)
Sebab, hal-hal
yang tersebut telah dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang harus
dilaksanakan. Oleh karena itu, sisanya adalah peninggalan harta mayit yang
diperbolehkan syara’ untuk dipergunakan sepertiganya.Wasiat-wasiatnya yang
lebih dari sepertiga tidak dilaksanakan kecuali dengan izin para ahli waris,
baik orang yang mendapatkan wasiat itu orang asing atau ahli waris itu sendiri.
Jika mereka mengizinkan maka dilaksanakan. Jika salah seorang dari mereka
mengizinkan, maka dilaksanakan sesuai dengan bagian orang yang memberikan izin
bukan yang lain. Hal ini sebagaimana wasiat kepada ahli waris tidak
dilaksanakan sama sekali, kecuali dengan izin para ahli waris, baik kurang dari
sepertiga atau lebih.
Di antara
hukum-hukum wasiat, yaitu:
1.
Wajib,
bila wasiat itu sebagai pemenuhan hak-hak Tuhan yang dilalaikan, seperti:
pembayaran zakat, puasa, haji dan lain sebagainya.
2.
Sunnat,
bila wasiat tersebut untuk orang yang tidak dapat menerima pusaka atau untuk
motif sosial, seperti berwasiat kepada fakir miskin, anak yatim dan sebagainya.
3.
Haram,
bila wasiat tersebut untuk suatu maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan
tempat-tempat perjudian, pelacuran dan sebagainya.
4.
Makruh,
bila wasiat tersebut diwasiatkan kepada orang fasik dan orang ahli maksiat yang
dengan wasiat itu mereka menjadi tambah fasik dan tambah maksiat.Tetapi kalau
diduga kuat bahwa dengan wasiat tersebut mereka menjadi orang baik, hukumnya
berubah menjadi sunnat.
5.
Mubah,
bila wasiat itu ditujukan kepada kerabat-kerabat atau tetangga-tetangga yang
penghidupan mereka sudah tidak kekurangan.
4.
Kewajiban
Keempat (Hak para ahli waris)
Pembagian sisa hartanya diantara para ahli waris. Ahli waris adalah orang yang nasab atau
hubungannya dengan mayit benar-benar ada. Mereka mendapatkan hak warisan yang
bagian mereka terdapat dalam al-Kitab, al-Sunnah atau Ijma’. Menurut
kesepakatan ulama mazhab, kalau harta peninggalan tersebut mencukupi, maka
hal-hal tersebut harus ditunaikan selengkapnya, sedangkan sisanya termasuk
kelebihan dari yang diwasiatkan, dibagikan kepada para ahli waris. Tetapi bila
peninggalan tersebut tidak mencukupi, maka mana yang lebih penting harus
didahulukan. Demikian seterusnya sesuai dengan urutan kepentingan.
Pembagian ini terdapat dalam surat al-Nisa’: 7-14, 33, 176, surah
al-Anfal: 75, al-Ahzab: 6 dan hadis-hadis yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim
Ibn Ghufron,
Aunur Rofiq. As-Sunnah : Pembagian
Harta Waris, (Solo: Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta , 2005)
Kitab Sembilan Imam Hadis,
(Lidwa Pustaka i-Software)
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih
Lima Mazhab, judul asli: al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah,
penerjemah: Masykur A.B.dkk, (Jakarta: Lentera, 2000)
Rofiq, Ahmad. Fiqh
Mawaris, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012)
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis
Besar Fiqh, (Bogor : Kencana, 2003)
Aunur Rofiq bin
Ghufron, As-Sunnah :Pembagian Harta Waris, (Solo: Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta , 2005), Edisi 7-8
Komentar
Posting Komentar