Kufu' dalam Islam
Makalah Kufu' FIQH II
KUFU’
A.
Pengertian Kufu’
Menurut Bahasa: Kufu’
berarti sama, sederajat, sepadan, atau sebanding[1], setaraf, seimbang atau
keserasian/kesesuaian.[2]
Menurut Istilah: Maksud Kufu’ dalam
perkawinan yaitu laki-laki sebanding dengan calon
isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dengan tingkat sosial
dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan[3] atau keseimbangan dan keserasian antara calon
isteri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan.[4]
Jadi, tekanaan dalam kafa’ah adalah
keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu
akhlak dan ibadah. Sebab kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta,
atau kebangsaawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam
Islam tidak dibenarkan adanya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan
adanya kasta, karena manusia di sisi Allah SWT adalah sama. Hanya
ketakwaannyalah yang membedakannya.[5]
Tidaklah diragukan jika kedudukan antara
laki-laki dan perempuan sebanding, akan merupakan faktor kebahagiaan hidup
suami isteri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
kegoncangan rumah tangga.[6]
B.
Hukum Kufu’
Kafa’ah dianjurkan dalam Islam dalam memilih
calon suami/isteri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Kafa’ah
adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu pernikahan yang tidak
seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar
kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu boleh
dibatalkan.[7]
C. Ukuran Kafu’
Segolongan ulama berpendapat bahwa soal kufu’
perlu diperhatikan, tetapi yang menjadi ukuran kufu’ ialah sikap hidup yang
lurus dan sopan, bukan dengan ukuran keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan lain
sebagainya. Jadi seorang lelaki yang shaleh walaupun keturunannya rendah berhak
untuk kawin dengan wanita berderajat tinggi. Laki-laki yang mempunyai kebesaran
apapun berhak kawin dengan wanita yang mempunyai kebesaran dan kemasyhuran.
Laki-laki fakir berhak kawin dengan wanita yang kaya raya, asalkan laki-laki
itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun
dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. [8]
Dikalangan mazhab Maliki tidak dipersilisihkan
lagi bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum
khamar (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut
berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan
menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya dengan pemilik harta haram atau
dengan orang yang banyak bersumpah dengan talak. [9]
Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba
sahaya arab, dan mengenai hal ini ia beralasan dengan firman Allah SWT
"
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.”
dan juga hadis Rasul Saw riwayat Tirmidzi dengan sanad hasan
dari Abu Hasim Al-Muzani
انّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال اذااتاكم من
ترضون دينه وخلقه فانكحوه. الا تفعلوا تكن فتنة فى الارض, وفساد كبير...قالوا يا
رسول الله وان كان فيه! قال: اذا جاء كم من ترضون دينه وخلقه فانكحوه ثلاث مرات.
“Jika datang kepadamu laki-laki yang agama dan
akhlaknya kamu sukai, maka kawinkanlah ia. Jika kamu tidak berbuat demikian,
akan terjadi fitnah dan kerusakan yang hebat diatas bumi. “ Lalu para sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau ia sudah punya ...? ”Jawabnya:
“Jika datang kepada kamu laki-laki yang akhlaknya dan agamanya kau sukai
hendaklah kawinkan dia (tiga kali)”
Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab
(keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu pul
tentang faktor hurriyah (kemerdekaan), kekayaan dan keselamatan dari cacat
(‘aib).[10]
Sufyan al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat
bahwa wanita arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya laki-laki.[11]
Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat
bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan laki-laki Quraisy, dan
wanita arab tidak boleh kawin kecuali dengan orang arab pula. Perbedaan pendapat
ini disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang mafhum (pengertian) dari
sabda Nabi Saw yang teksnya:
تنكح المراة لدينها وجما لها ومالها وحسبها فاظفر بذات
الدين (اخرجه البخاري عن ابي هريرة)
“Wanita itu dikawini
karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita
yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu”. Segolongan fuqaha
ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan.
Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi Saw diatas (..maka carilah
wanita yang taat beragama).[12]
Segolongan lainnya ada yang berpendapat bahwa
faktor keturunan sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor
kekayaan, dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah, kecuali apa yang
dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan itu tidak termasuk dalam lingkup
kafa’ah. Dan semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya
cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup
kafa’ah. [13]
Menurut Jumhur ahli fiqh kufu’ itu selain
diukur dengan sikap jujur dan budi luhur, yang karena itu laki-laki fasik tidak
kufu’ dengan perempuan yang luhur, maka mereka membuat kufu’ dengan lain-lain
lagi. Mereka berpendapat ukuran-ukuran lain diluar sikap jujur dan budi luhur,
wajiblah diperhitungkan. [14]
D. Hal-hal yang dianggap jadi ukuran kufu’[15]
- Keturunan
Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan
lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena
itu orang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi
bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/bagi perempuan Quraisy,
alasannya adalah sebagai berikut:
Riwayat Hakim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah
Saw telah bersabda:
انّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال العرب اكفاء
بعضهم لبعض قبيلة لقبيل وحيّ لحيّ ورجل لرجل الا حائكا او حجّاما
“Para
orang Arab satu dengan lainnya sekufu’. Kabilah yang satu sekufu’ dengan
lainnya, kelompok yang satu sekufu dengan yang lainnya, laki-laki yang satu
sekufu’ dengan lainnya, kecuali tukang bekam.
Sehubungan dengan sesama bangsa Arab apapun dengan
bangsa-bangsa lain diluar Arab, ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka tidak
kufu’ dengan bangsa Arab lantaran keturunan.
Diriwayatkan oleh Syafi’i dan kebanyakan muridnya bahwa
kufu’ sesama bangsa-bangsa bukan Arab, diukur dengan bagaimana keturunan mereka
dengan diqiaskan kepada antara suku-suku bangsa Arab yang satu dengan yang
lainnya. Karena mereka juga menggap tercela apabila seorang perempuan dari satu
suku kawin dengan laki-laki lain yang lebih rendah dari nasabnya. Jadi hukumnya
sama dengan hukum yang berlaku di kalangan bangsa Arab karena sebabnya adalah
sama.
- Merdeka
Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan
merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang
merdeka dari asal. Begitu juga laki-laki yang salah seorang nenelnya pernah
menjadi budak tidak kufu’ dengan perempuan yang neneknya tidak pernah menjadi
budak.
- Beragama Islam
Abu Yusuf berpendapat bahwa seorang laki-laki yang
ayahnya sudah Islam kufu’ dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam, karena
untuk mengenal laki-laki cukup hanya dikenal dengan ayahnya saja. Adapun Abu
Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa untuk mengenal laki-laki tidaklah cukup
hanya mengenal ayahnya saja tetapi juga harus dengan neneknya.
- Pekerjaan
Seorang perempuan dan suatu keluarga yang pekerjaannya
terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau
pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatnya antara satu dengan yang lain maka
tidaklah dianggap ada perbedaan. Mereka yang menganggap ukuran kufu’
berdasarkan pekerjaan berdasar pada hadis, “ Orang-orang Arab satu dengan yang
lain saling kufu’ kecuali tukang bekam” (H.R Hakim)
- Kekayaan
Golongan Syafi’i berpendapat dalam hal ini. Sebagian ada yang
menjadikannya ukuran kufu’. Jadi orang fakir menurut mereka tidak kufu’ dengan
perempuan kaya, sebagaimana riwayat Samarah;
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الحسب المال والكرمم التقوى
“ Kebangsawanan
adalah pada kekayaan dan kemuliaan pada taqwa”
Golongan Hanafi menganggap bahwa kekayaan
menjadi ukuran kufu’. Dan ukuran kekayaan disini yaitu memiliki harta untuk
membayar mahar dan nafkah.
Ahmad juga menjadikan harta sebagai ukuran
kufu’, karena kalau perempuan kaya bila berada di tangan suami yang melarat
akan mengalami problema, sebab suami menjadi susah dalam memenuhi nafkahnya dan
jaminan anak-anaknya.
- Tidak cacat
Murid-murid Syafi’i dan riwayat Ibnu Nashr dari Malik,
bahwa salah satu syarat kufu’ ialah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang
mempunyai cacat jasmani yang menyolok, ia tidak kufu’ dengan perempuan sehat
dan normal. Jika cacatnya tidak begitu menonjol, tetapi kurang disenangi secara
pandangan lahiriyah, seperti: buta, tangan buntung, atau perawakannya jelek,
maka dalam hal ini ada dua pendapat.
Rauyani berpendapat bahwa laki-laki seperti ni tidaklah
kufu’ dengan perempuan sehat. Tetapi golongan Hanafi dan Hanbali tidak menerima
pendapat ini. Dalam kitab “Al-Mughni” dikatakan : “Sehat dari cacat tidak
termasuk dalam syarat kufu’”. Karena tidak seorang pun yang menyalahi pendapat
ini, yaitu bahwa kawinnya orang yang cacat itu tidak batal. Hanya pihak perempuan
yang berhak menerima atau menolak dan bukan walinya.
E.
Yang menentukan ukuran kekufu’an
Yang menentukan ukuran kekufu’an ialah laki-laki dan
budak perempuan. Laki-laki yang dikenai persyaratan itu hendaknya kufu’ dan
setaraf dengan perempuannya, dan bukan sebaliknya, yaitu perempuannya harus
kufu’ dengan laki-laki.
Alasan-alasannya:
- Sabda Nabi Saw:
ان النبي صلى
الله عليه و سلم قال: من كان عنده جارية فعلمها واحسن تعليمها واحسن اليها ثم
اعتقها وتزوجها فله اجران
“Barangsiapa mempunyai budak perempuan lau
diajarkannya dengan pelajaran yang baik kepadanya, kemudian dimerdekakan dan
terus dinikahinya, maka baginya dau pahala”
- Isteri yang tinggi kedudukannya biasanya ia merasa aib, baik secara pribadi maupun walinya bilamana ia kawin dengan laki-laki yang tidak kufu’. Tetapi laki-laki yang terpandang tidak dianggap aib jika isterinya itu berada di baawah derajatnya.
- Nabi Saw adalah seorang yang tak ada bandingannya dalam masalah kedudukannya, namun beliau menikahi perempuan-perempuan suku Arab, bahkan dengan Syafiyyah binti Hayaiyi, seorang perempuan Yahudi yang telah masuk Islam.
F.
Waktu mengukur kufu’
Kufu’ diukur ketika berlangsungnya aqad nikah. Jika telah
selesai aqad nikah terjadi kekurangan-kekurangan, maka hal itu tidaklah
mengganggu dan tidak dapat pula membatalkan apa yang sudah terjadi itu
sedikitpun, serta tidak mempengaruhi hukum aqad nikahnya.
[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah ,( Bandung: PT Alma’arif,.1981),
cet.I.,h. 36
[3] Sayyid
Sabiq.,Op.Cit.,h.36
[4] Abdul Rahman Ghazali,Op.Cit.,h. 96
[5] Ibid
[6] Sayyid
Sabiq.,Op.Cit.,h.36
[7] Abdul Rahman Ghazali,Op.Cit.,h. 97
[8] Sayyid
Sabiq.,Op.Cit.,h.37
[9] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujathid,( Semarang: C.V Asy Syifa’,1990)jil.2.,h.380
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Sayyid
Sabiq.,Op.Cit.,h.342
[15] Ibid
Komentar
Posting Komentar